Syarat Wajib Puasa
1. Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
2. Menetap, tidak dalam keadaan bersafar.
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).
3. Suci dari haidh dan nifas.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Aisyah menjawab, «Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” Wanita haidh dan nifas diharamkan puasa dan punya kewajiban qadha’ ketika suci.
Rukun Puasa
Rukun atau fardhu puasa ada dua yaitu imsak (menahan diri) dari melakukan berbagai pembatal puasa dan berniat.
Tentang kewajiban imsak disebutkan dalam firman Allah, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Sedangkan perintah berniat adalah berdasarkan hadits ‘Umar bin Khottob, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.”
Niat puasa harus ada untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya, juga untuk membedakan dengan puasa sunnah. Namun letak niat adalah di hati, bukan di lisan. Imam Nawawi berkata,
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang hal niat, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya
keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat.Demikian pula ketika ia ingin menunggangi kendaraan atau melakukan aktivitas lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah
mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”
Untuk puasa wajib di bulan Ramadhan harus ada niat di malam hari (setelah matahari tenggelam). Jika niatnya dilakukan sebelum tenggelamnya matahari, maka tidaklah sah. Begitu pula jika baru berniat
setelah masuk waktu fajar (Shubuh), juga tidaklah sah. Kewajiban berniat di malam hari adalah berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar (Shubuh), maka puasanya tidak sah.”
Adapun hadits ‘Aisyah di mana ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka
beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalil di atas adalah dalil bagi mayoritas ulama bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”
Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada
perselisihan di dalamnya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menurut madzhab Syafi’i, niat mesti ada setiap hari puasa baik ketika melakukan puasa Ramadhan, puasa qadha’, puasa kafarah, puasa nadzar dan puasa sunnah. …
Karena puasa antara hari yang satu dan lainnya tidak berkaitan satu dan lainnya. Jika satu hari puasa batal, maka tidak merusak lainnya. Ini berbeda dengan ibadah haji dan raka’at-raka’at shalat.” (*)