Pengakuan Iman Kepada Taqdir

Beriman kepada taqdir Allah dalam segala urusan dan kejadian, adalah merupakan salah satu rukun iman yang tentu berhukum wajib dan bersifat mutlak bagi setiap orang beriman. Hal itu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma seluruh ulama Ahlussunnah Waljamaah.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan terjadi pada kita melainkan apa yang telah ditetapkan Allah (dalam taqdir-Nya) untuk kita. Dia-lah Pelindung kita, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At-Taubah: 51). 

Allah juga berfirman (yang artinya): ”Tiada suatu kejadianpun yang terjadi di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadiid: 22-23).

Dan dalam hadits Jibril as. yang terkenal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): ”(Iman ialah bahwa) Engkau harus beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada Hari Akhir, dan juga beriman kepada taqdir baik dan buruk” (HR. Muslim dari Umar bin Al-Khaththab ra.).

Maka setiap orang Islam secara mutlak wajib beriman kepada adanya prinsip taqdir ini. Karenanya seluruh ulama Ahlussunnah Walamaah-pun sepanjang sejarah Islam telah berijma (bersepakat) bahwa, setiap orang ataupun kelompok, seperti firqah Mu’tazilah misalnya, yang mengingkari adanya taqdir Allah terhadap segala sesuatu di dalam hidup ini, adalah orang atau kelompok yang menyimpang dan sesat dengan penyimpangan dan kesesatan yang amat jauh.

Namun yang tidak kalah pentingnya, adalah bahwa kewajiban beriman kepada taqdir ini haruslah dipenuhi oleh setiap mukmin dengan cara yang benar sesuai kaidah-kaidah dan rambu-rambunya.

Karena pengakuan iman kepada taqdir dengan cara yang sesat dan menyimpang, adalah juga merupakan kesesataan dan penyimpanyan lain. Contohnya seperti firqah Jabriyah yang mengaku beriman kepada taqdir tapi tetap sesat dan menyesatkan, karena mereka lalu menafikan usaha dan ikhtiar manusia.

Nah, diantara kaidah-kaidah dan rambu-rambu iman kepada taqdir secara benar itu, adalah bahwa iman itu haruslah besifat  positif dan berdampak baik (lihat QS. Al-Hadiid: 22-23). (*)

Oleh: KH. Ahmad Mudzoffar Jufri, MA.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine + 18 =

Scroll to Top